Asal usul Desa Sidapurna menurut beberapa sumber yang dapat digali menuturkan bahwa nama sidapurna merupakan kata majemuk berasal dari kata “sida” dan “sempurna” yang berarti telah menjadi sempurnalah gugur nya seorang Jamauddin (Mbah Sampurna) yang terluka dalam suatu pertempuran. Dengan menahan rasa sakit ia terus berjalan, berlari dan berkuda dari wilayah timur menuju wilayah Barat. Setelah tiba di wilayah yang sekarang dinamakan Desa Dukuhturi dan atau Kupu Kabupaten Tegal, ia menyebrangi Sungai Kemiri. Daerah barat/seberang sungai Kemiri sekarang diberi nama “Desa Sidapurna” karena di daerah itu Jmaluddin akhirnya menghembuskan nafas terakhir dan guur. Pengabadian nama sungai kemiri juga masih digunakan sebagai suatu nama pedukuhan “Kemuren” Berasal dari “Kemiren” (daerah Sungai Kemiri) yang masuk wilayah Desa Sidakaton).
Konon hakikat terjadi pada zaman kerajaan Mataram.
Ada seorang (pelarian/utusan raja/tentara/penuntut ilmu) bertolak dari kesultanan Demak menuju wilayah Barat (Kesultanan Cirebon). Dia adalah Jamaluddin (beberapa sebutan yang acap kali dituturkan oleh para piwarah yaitu : Mbah Sampurna, Mbah Dapawi ; Santri Kamil dan/atau Maling Guna). Dalam perjalanannya sering menemui bermacam-macam rintangan baik dari kelompok begal, rampok, penyamun hingga talik sandi dari kerajaan lain yang belum berdamai dan bersahabat. Dengan berbekal ilmu perang yang beliau miliki, para perintang dan pengganggu jalanan pun dapat diatasi dan dikalahkannya.
Dalam interaksinya dengan penduduk di daerah yang di singgahi beliau mudah diterima kawula warga/rakyat. Tidak sedikit orang yang bertemu dan sempat mengenalnya tertarik ingin belajar ilmu kepadanya. Sembari bersosialisasi dengan penduduk, beliau banyak membantu warga tidak mampu (fakir miskin). Dan karena bekal perjalanan yang dibawa sedikit dan alakadarnya, maka bantuan yang beliau berikan jepada para fakir iskin ia dapatkan dengan cara maling dari para hartawan kikir (tidak mau mengeluarkan zakat). Barang hasil maling dari orang kaya yang kikir itu tidak dikumpulkan dan tidak dimanfaatkan untuk memperkaya diri, tetapi disedekahkan kepada warga tidak mampu agar dapat menafkahi keluarga. Dengan kebiasaan seperti inilah, maka penutur menyebutnya “Maling Guna” (pencuri yang berguna dan menguntungkan bagi kawula warga tidak mampu)
“Tiada gading yang tak retak. Sepandai-pandai tupai melompat, jatuhnya ke tanah juga”. Sekuat apapun seorang algojo, pendekar, ataupun jawara pasti pernah mengalami kekalahan. Sepandai-pandai orang pasti pernah mengalami kesalahan. Jamaluddin (Mbah Sampurna ; Santri Kamil ; Mbah Dapawi dan/atau Maling Guna) adalah manusia. Setelah mengalami beberapa pertempuran beliau selalu selamat, akhirnya terluka juga.
Dan sekarang sudut pandang orang terhadap perilaku sang tokoh memang berbeda-beda. Jamaluddin yang pandai bergaul dengan siapapun baik cendekiawan/alim, punggawa kerajaan, rakyat jelata, sampai tukang “Malima” (Madat/mabuk, maling/mencuri , madon/selingkuh), pun ia dekati. Hal inilah yang menjadi teka-teki siapakah sebenarnya Mbah Sampurna/Jamaluddin itu, Pemabuk kah? Pencuri kah? Tukang selingkuh kah? Atau bahkan seorang yang benar-benar baik yang bisa menyelaraskan diri dengan kehidupan penduduk setempat, demi menutupi jati dirinya yang luar biasa? Walllahu ‘alam bis-shawab.